Laman

Rabu, 09 Januari 2013

INDONESIA, ETNIS. BUDAYA dan KOMUNITAS.

''....Indonesia Raya...merdeka...merdeka... Bangsaku ....Negeriku... Yang Kucinta..... Indonesia Raya.... merdeka...merdeka.... Hiduplah Indonesia Raya...."


Sepenggal bait Syair Lagu Kebangsaan Indonesia negeriku Yang kucintai, kini mulai terombang-ambing dalam "kesesatan" identitas yang sejak lama sudah jelas dan tak pernah diragukan.

Kini Indonesia Raya seakan mulai redup dan tenggelam dan semakin merosot citra "kebesaran" sebagai bangsa dan Negara Yang Berdaulat, Dimana kearifan budaya, seni, bahasa, tari, melukis, Fashion dan pernak pernik Budaya Indonesia yang begitu beragam, kini mulai ter-reduksi oleh fanatisme "BUTA".
Agamapun beragam, dan tak dipersoalkan oleh kelompok2 Agama Samawi yang ortodoks. Mereka berbudaya menurut fitrah zaman dan manusianya yang ternyata hidup secara "mobile" forward dan tentunya "move-on".

Para Founding Father kita melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dengan semangat monolotik apapun. Tetapi memang semangat keberagaman budaya dan keberagaman hidup yang alami tanpa perlu batasan agama dalam berbudaya. Semua berjalan normal-normal saja tanpa pretensi keserakahan kekuasaan. Tujuan untuk "kesejahteraan Rakyat" lah yang membuat bangsa ini masih kokoh berdiri sampai dengan saat ini.


Soekarno-Hatta hadir untuk memimpin Bangsa Indonesia yang plural dan toleransi. Hal ini bukan merupakan proses Liberal yang instant, tetapi pendekatannya memang plural dan menghormati perbedaan. Jadi tak elok jika hanya mengakui bahwa etnis Jawa semata yang merupakan cikal bakal adanya Indonesia.

Kebanyakan Presiden orang jawa ini harus diartikan sebagai leader, jangan diartikan sholeh dan sholehah semata, atau kesukuan semata. Karena kesempatan etnis lain yang Indonesia sama besarnya tak ada perlakuan Istimewa dari etnis dan agama tertentu di Indonesia.

Hal yang mencengangkan 10 Tahun terakhir ini, Indonesa semacam "rindu" akan kebesarannya itu, akan penghormatan pada budaya, beragam etnis dan beragam bahasa. Nah sikap "melankolis" ini ternyata hanya membawa "keburukan nilai semata, tak ada output yag dirasakan pada Rakyat Indonesia.

Ya Indonesia sedang "kasmaran" pada Budaya, Adat, dan Etnis. Juga kini menjalar ke fanatisme komunitas dan kelompok. Sehingga menimbulkan "blur" pada rasa Nasionalis. dan Liberty.
Film adalah produk budaya yang sebelumnya adalah gambaran dan potret sebuah masyarakat yang hidup di suatu zaman. Jadi aktualisasi dan Faktualisasi sebuah Film tak perlu di gugat ke ranah Hukum. Karena Film adalah gambaran interaksi suatu zaman, sehingga kita bisa memilah dan masing-masing dapat gambaran yang gak bakal sama setiap orang yang menonton..

Begitu juga ketika ada Film yang dinilai mengganggu maka kita bisa layangkan nota proses "cekal" dan improvement dengan cara-cara yang santun. Tak perlu ada yang merasa tersakiti, toh memang bukan untuk digunjijngkan. Menonton Film bagi saya adalah sebuah hiburan dan kenikmatan tersendiri yang dilakukan  bareng keluarga. Macam2 temanya.

Jadi pembelaan tentang etnis, budaya, komunitas hanya karena penayangan film adalah hal yang merugikan waktu untuk menikmati hidup yang memang hanya bisa dinikmati sekali saja.

Jangan sampai memusuhi karya2 kritis film hanya karena tema yang dirasakan oleh kita mengganggu. Sejatinya begitulah Film... jika sudah mengundang kontroversi...berarti Film itu kuat dari segi tema, dan wajib serta layak untuk di tonton.






1 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus