Laman

Rabu, 13 April 2022

 KEMBALI MENULIS

"sebuah refleksi diri di bulan Ramadan 1443 H"

oleh : Rendra Prasetya


Sudah lama sekali saya tak menengok blog yang saya buat tahun-tahun yang lalu. Hari ini saya terbersit begitu saja ingin menulis apa yang jadi keresahan dalam pikiran akan kejadian-kejadian yang terekam dalam warta berita onlie atau keriuhan di platform social media antara lain, instagram, twitter dan tentunya di facebook.

Ada banyak tema yang membuat saya tertarik untuk dijadikan "capture writing" dalam tulisan saya kali ini, diantaranya pembacaan Al-Qur'an oleh beberapa anak muda di pelataran kawasan pusat Malioboro Jogjakarta yang menjadi keriuhan dan perdebatan sengit diantara netizen. Dan seperti biasa jadi bahan bully,ejekan, olol-olok, saling sindir dimana ditarik kepada polarisasi pilihan politik yang terus memelihara saling benci dan membelah masyarakat tak ada habisnya.

Issue ini sempat selama 2 minggu kurang lebih saya mengamatinya menjadi viral arena "gelut" netizen yang dikenal memang suka saling serang dengan sangat tajam. Lagi-lagi saya harus menghela nafas bagaimana situasi di era internet of things ini belum mampu mengendalikan emosi dalam menjelajah social media yang awalnya sebagai media interaktif yang bertujuan menciptakan suasana yang nyaman, tetapi yang terjadi kini sebaliknya.

Saya kemudian masuk dalam gelombang viral di issue pembacaan Al-Qur'an di ruang publik dengan sudut pandang anti mainstream. Maklum saat itu opini dan argumen manstreamnya adalah menolak pembacaan Ayat Suci dari Kitab Suci adalah mesti ada adab,juga menjaga kesuciannya sehingga ruang publik adalah tidak tepat untuk membaca Al-Aqur'an. Tempat yang cocok hanya di masjid. Begitu suara-suara mainstream saat itu, tak ayal postingan saya yang tak biasa dan tentu saja mengejutkan hampir seluruh teman di facebook saya bahkan tak sedikit sampai emosi. Saya hanya menimpali dengan argumen sederhana dan tak masuk pada perdebatan adab membaca dan tempat suci membaca Al-Qur'an tidak sama sekali. Tapi secara sederhana menerangkan sudut pandang lain yang sederhana yaitu mengapresiasi pesan baik dari sekelompok anak muda untuk melakukan hal baik. Hal sesederhana itu saja tak bisa diterima para netizen. 

Lagi-lagi pesan saya yang sederhana bahwa jangan takut untuk berpendapat bebas selama itu dilakukan di beranda socmed kita, kita bebas menuliskan ekspresi apa yag kita pikirkan kemudian tuliskan dan posting. Namun pesan ini pun tak ada yang berani melakukannya. Semua takut pada gelombang mayoritas yang menolak bahkan untuk mengapresiasi saja tak ada yang berani. Tentu saja ini membuat saya semakin prihatin. Bagaimana mungkin kita mampu berdiskusi dengan beradab jika mengeluarkan pendapat yang berbeda saja takut.

Issue viral selanjutnya adalah ada pendapat tentang menolak ide dan gagasan para kesarjanaan barat yang menamakan dirinya Kesarjanaan Revisionis. Temanya sangat menarik sekali yaitu menggugat Ayat Suci, Agama dan Nabi. Dengan metode skeptisme para kesarjanaan barat ini berani mempertanyakan ayat-ayat suci Al-Qur'an bukan kalam illahi bahkan Nama Nabi dipertanyakan secara kritis dan tajam dan berujung berkesimpulan bahwa Agama adalah buatan manusia bukan wahyu dari Tuhan. Sontak saja buku-buku yang diterbitkan para sarjana barat yang menamakan dirinya Kesarjanaan Revisionis menjadi hal yang perlu ditanggapi serius bahkan harus dilawan mati-matian karena dianggap sesat pikir dan berbahaya bagi masyarakat seperti saya ini. Dialektika seperti ini yaitu tulisan dibalas dengan tulisan sangat saya nikmati. Namun sayangnya lagi-lagi netizen maha benar selalu dijadikan bahan "gelut" dan saling bully dan caci maki.


Issue terbaru adalah Dosen UI Ade Armando mengalami kekerasan saat demo mahasiswa tanggal 11 April 2022 lalu. Luka serius dialamai Ade Armando akibat pengeroyokan tersebut. Maka secara kolektif rekan-rekan Ade Armando dan netizen yang simpati menyampaikan ketidaksetujuan atas perilaku kekerasan massa tersebut. Seperti biasa netizen terbelah karena sosok Ade Armando ini dinilai sangat kontroversial dan melakukan kekerasan verbal juga dalam postingan di medsos dan berbicara di frekuensi publik lewat YouTube di channel CokroTV. Begitu pendapat netizen yang tak simpatik kepada Ade Ade Armando.

Dan seeperti biasa netizen socmed beradu sindir, nyinyir saling bully kepada netizen lain yang dianggap menganggap hal biasa apa yang dilakukan akan menuai hasil dari kelakuannya. Dan karena hukum tak tegak dengan adil maka terjadilah Pengadilan Jalanan. Dua kubu masyarakat ini makin diperuncing dengan tuduhan Relawan Anies Basweda dan kubu simpatisan 212 dianggap dalang pengeroyokan Ade Armando, sehingga lagi-lagi menyebabkan debat panas penuh emosional tak berujung.

Saya akhirnya berfikir bahwa situasi seperti ini menjadi klimaks bahwa lemahnya digital literasi sehingga kita mudah tersulut hoaks, fitnah, bahkan berujung kekerasan baik verbal dan aksi nyata kekerasan itu sendiri. Digital disruption tak membawa kebaikan bagi netizen. Hanya belanja online yang menyatukan kita semua ketimbang mengakses jurnal-jurnal ilmiah, free e-book yang berkualitas atau informasi positif lainnya. Sumber bacaan yang bagus ini belum mampu menyadarkan netizen untuk bersikap beradab dan rasional.

Apakah ini yang disebut black era in post truth ? Saya masih membuktikan lebih lanjut lagi. Dan apakah propaganda BuzzerRp itu berhasil memporakporandakan digital literasi generasi emas kita saat ini.? aaah saya tak habis berfikir bahwa mereka begitu superior sehingga polarisasi ini demikian begitu hebat sampai mampu membelah masyarakat kita. Jika situasi seperti ini semakin membelah begitu lebar dan tajam, saya khawatir Indonesia akan tidak ada. Kita bahkan akan menuju titik nadir menjadi negara-negara kecil seperti Uni Sovyet dan Benua Yugoslavia ? 

Banyak pertanyaan pesimis yang ada dipikiran saya. Saya sungguh khawatir .... Apakah anak saya selepas lulus dari ITB Bandung bisa menikmati Indonesia yang damai.? aaah Nak......teruskan saja terbang ke Jerman sesuai cita-citamu Nak dan keinginan Ayah kelak. Bagaimana kita hidup di negara Jerman saja Nak.....

Speechless.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar